Monthly Archives: March 2025

Personal Branding Yang Berhasil (?)

Menurut (Lair, Sullivan & Cheney, 2005:35), Personal branding adalah suatu proses pembentukan persepsi masyarakat terhadap diri seseorang yang dipandang sebagai merek atau brand oleh target market. Dengan kata lain, proses membentuk persepsi masyarakat akan diri seseorang yang meliputi kepribadiannya, kemampuan, dan aspek lainnya yang menciptakan persepsi positif di benak masyarakat serta dapat digunakan sebagai alat pemasaran (McNally & Speak, 2002).

Semasa bekerja dan mulai tampil di social media (Facebook 2008 dan Instagram 2012), sejak awal saya memposisikan diri sebagai penyuka jalan jalan dan juga explore apapun. Isi feed timeline pun kebanyakan foto saya di sebuah tempat baik itu icon dari daerah tersebut atau sesimpel foto di jalanan random aja gitu. Saya juga kerap kali membagikan hal hal unik yang saya temukan di sebuah tempat baru dan posting di akun social media saya. Alhamdulillah, 85% dari cap di paspor saya difasilitasi oleh perusahaan, selebihnya budget pribadi tentunya.

Ceu Dewi di NASA Houston
Ceu Dewi di NASA Houston

Sejak saat itu, orang orang mempersepsikan saya jalan jalan ke luar negeri terus dan dianggapnya duitnya gak berseri. Padahal ke luar negerinya palingan hanya setahun 1x, itu pun karena kerja. Paling bagus pernah ke luar negeri itu 1 tahun 5x dan itu pun 3xnya kerja dan 2x nya emang udah planning dan nabung jauh jauh hari.

Dibandingkan dengan travel blogger atau travel writer lainnya, jumlah negara dan kota yang pernah saya kunjungi masih cupu, belum sampai 20. Tapi karena konsisten setiap tahun ada aja perginya, persepsinya jadi saya si paling luar negeri aja udah gitu.

Ceu dewi di Taj Mahal
Ceu dewi di Taj Mahal

Menurut Raditya Dika di postingannya yang ini , Personal Branding adalah efek dari tindakan yang dilakukan secara konsisten dan itulah yang menempel di benak orang, persepsi tentang kamu.

Chat dari salah seorang teman

Melihat dari chat di atas, apakah ini berarti personal branding yang saya lakukan secara konsisten selama ini berhasil?

Mempertanyakan Kebenaran

Ini murni suara hati. Datang ketika saya mengobrol dengan seorang sahabat, menceritakan sebuah kisah yang saya sendiri sering kali mode bingung dalam meresponsnya. Sepertinya, ini cerita khas untuk mereka yang sudah memasuki usia akhir 30an dan awal 40an.

Alkisah dua orang teman yang saat ini menyandang status janda, berpacaran dengan pria yang sudah berkeluarga dan lengkap, istrinya masih ada. Teman yang satu, enjoy aja, menikmati banyak fasilitas yang diberikan oleh sang pria. Dia bilang, “Udah terlanjur kecebur, ngapain nanggung?” Teman yang lainnya juga enjoy, tapi sering kali hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang sedang dia lakukan itu salah. Dia menolak fasilitas apapun yang ditawarkan oleh si pria. Katanya, “Gak Wi, itu bukan hak saya.” Si teman pun sulit keluar dari situasi itu karena sudah terlanjur menaruh hati dan sepertinya sudah jatuh ke dalam perasaan yang tak bisa dia kendalikan. Jadi yang benar yang mana? Menikmati fasilitas atau tidak sama sekali?

Mendengar dan menyaksikan kedua kisah itu, saya dalam posisi serba nanggung. Di satu sisi, saya senang mereka bahagia, di sisi lain, saya bersikap menentang bahwa hal yang mereka lakukan itu salah. Seringkali saya berkata dalam hati, “Yaudahlah, dosa tanggung masing masing, surga juga tanggung masing masing.” Tapi saya tidak nyaman jika terus menerus berada di tengah kisah hidup mereka tanpa tau harus bersikap seperti apa.

Saya bertanya pada sang sahabat, “Dari cerita yang saya utarakan barusan, menurut kamu, sekarang itu kebenaran yang harus kita yakini itu yang versi mana?” Dari sahabat saya mendapatkan pencerahan. “Ceuceu, tetaplah pada keyakinan bahwa apapun yang berkaitan dengan selingkuh atau pengkhianatan itu adalah salah. Terlepas konteksnya mau seperti apa, itu tetap salah. Kita hidup mau nyari apa sih? Nyari ketenangan dan kebahagiaan kan? Kalo saat ini belum ada, yang bersabar aja. Godaan pasti banyak, tapi bukan berarti lo pasrah aja. Tegakkan keyakinan kamu, Ceu!”

Pikiran saya lalu melayang kemana mana. Saya tau belum pernah ada di posisi itu. Memang bukan kapasitas saya untuk menghakimi, saya hanya seorang teman bagi mereka, saya pun tidak sempurna, tak luput dari kesalahan. Tentunya saat seorang teman bahagia, saya pun harus ikut bahagia. Tapi sekarang saya yakin, Jika ternyata saya diberi godaan yang sama, saya tau harus berbuat apa. Karena saya punya kebenaran yang saya yakini dengan pasti.