Ini murni suara hati. Datang ketika saya mengobrol dengan seorang sahabat, menceritakan sebuah kisah yang saya sendiri sering kali mode bingung dalam meresponsnya. Sepertinya, ini cerita khas untuk mereka yang sudah memasuki usia akhir 30an dan awal 40an.
Alkisah dua orang teman yang saat ini menyandang status janda, berpacaran dengan pria yang sudah berkeluarga dan lengkap, istrinya masih ada. Teman yang satu, enjoy aja, menikmati banyak fasilitas yang diberikan oleh sang pria. Dia bilang, “Udah terlanjur kecebur, ngapain nanggung?” Teman yang lainnya juga enjoy, tapi sering kali hati kecilnya mengatakan bahwa apa yang sedang dia lakukan itu salah. Dia menolak fasilitas apapun yang ditawarkan oleh si pria. Katanya, “Gak Wi, itu bukan hak saya.” Si teman pun sulit keluar dari situasi itu karena sudah terlanjur menaruh hati dan sepertinya sudah jatuh ke dalam perasaan yang tak bisa dia kendalikan. Jadi yang benar yang mana? Menikmati fasilitas atau tidak sama sekali?
Mendengar dan menyaksikan kedua kisah itu, saya dalam posisi serba nanggung. Di satu sisi, saya senang mereka bahagia, di sisi lain, saya bersikap menentang bahwa hal yang mereka lakukan itu salah. Seringkali saya berkata dalam hati, “Yaudahlah, dosa tanggung masing masing, surga juga tanggung masing masing.” Tapi saya tidak nyaman jika terus menerus berada di tengah kisah hidup mereka tanpa tau harus bersikap seperti apa.
Saya bertanya pada sang sahabat, “Dari cerita yang saya utarakan barusan, menurut kamu, sekarang itu kebenaran yang harus kita yakini itu yang versi mana?” Dari sahabat saya mendapatkan pencerahan. “Ceuceu, tetaplah pada keyakinan bahwa apapun yang berkaitan dengan selingkuh atau pengkhianatan itu adalah salah. Terlepas konteksnya mau seperti apa, itu tetap salah. Kita hidup mau nyari apa sih? Nyari ketenangan dan kebahagiaan kan? Kalo saat ini belum ada, yang bersabar aja. Godaan pasti banyak, tapi bukan berarti lo pasrah aja. Tegakkan keyakinan kamu, Ceu!”
Pikiran saya lalu melayang kemana mana. Saya tau belum pernah ada di posisi itu. Memang bukan kapasitas saya untuk menghakimi, saya hanya seorang teman bagi mereka, saya pun tidak sempurna, tak luput dari kesalahan. Tentunya saat seorang teman bahagia, saya pun harus ikut bahagia. Tapi sekarang saya yakin, Jika ternyata saya diberi godaan yang sama, saya tau harus berbuat apa. Karena saya punya kebenaran yang saya yakini dengan pasti.
