A Moment in Time, with my feet

I just like to capture a moment in time with my feet while i’m at some place. 
I just like to share it with you.
all rights reserved
at Debenhams, trying a pair of wedges
at Borobudur Temple
at Gambir Station, heading to Malang

at Curug Malela,

Have i told you lately that i really love to traveling? 🙂

*this picture was taken from my Blackberry 8310 device and Canon digital camera IXUS 130

Tukang Palak

Awalnya, saya ingin memberi judul tulisan ini Preman. Tapi ternyata, kata preman tidak sesuai dengan apa yang akan saya tulis berikutnya (silakan baca artikel ini).

Hal ini saya ceritakan bukan untuk menyerang institusi tertentu. Saya hanya ingin membuka mata, apa yang menjadi rahasia umum selama ini ternyata masih saja terus berlangsung dan entah kapan bisa hilang.

Saya dan seorang sahabat sedang berada di angkot sekitar jam 9 malam di Jalan Jakarta, Bandung, ketika tiba – tiba supir angkot kami diberhentikan oleh satu unit mobil patroli sebuah institusi yang berisi dua orang anggota. Salah seorang anggota tersebut turun dan menanyakan SIM supir, lalu membawa SIM tersebut ke dalam mobilnya. Sang supir angkot menurut. Dia sudah hapal alasan mengapa mobilnya harus berhenti, dia akan dipalak.

Setelah meninggalkan angkot dan menuju mobil patroli selama beberapa menit, dia kembali. Dia bilang, “Biasa mba, saya abis dipalak sepuluh ribu”. Saya bengong.

Belum sampai 100 meter angkot melanjutkan perjalanan, mobil patroli tersebut membunyikan klakson dan menyuruh supir angkot untuk berhenti kembali. Sang supir bingung, apa yang salah? Dia merasa dia sudah memberikan apa yang oknum tersebut minta. Dengan percaya diri dia menghampiri mobil patroli tersebut lagi. Terlihat dialog yang sangat alot antara sang supir dengan anggota institusi tersebut selama lebih dari 5 menit. Saya penasaran.

Ketika sang supir kembali dia bercerita. “Tadi, anggota institusi itu marah – marah, karena dia pikir saya hanya ngasih lima ribu (rupiah). Padahal saya yakin, saya kasih sepuluh ribu (rupiah) dalam bentuk pecahan lima ribuan sebanyak dua lembar. Tapi dia mengaku hanya terima satu lembar. Saya dimaki habis habisan. Mereka merasa dipermainkan.” Sang supir kemudian menghela napas sebelum melanjutkan cerita. “Saya ngotot mempertahankan diri, mereka juga demikian. Saya disuruh masuk ke dalam mobilnya, tapi saya menolak.  Saya meminta salah seorang anggota institusi tersebut untuk memeriksa kembali, barangkali uangnya terjatuh. Dia menurut. Ternyata, satu lembar uang lima ribuan tersebut, memang ada, dan terjatuh ke dekat pedal gas mobil. Saya lega. Kedua anggota institusi tersebut kemudian meminta maaf dan langsung pergi.” Mendengar cerita itu, saya lebih bengong lagi. Saya kehilangan kata kata.

Saya langsung kehilangan kepercayaan terhadap institusi yang mottonya “melindungi dan melayani” ini. Sekarang, di depan mata kepala saya sendiri, mereka telah bertransformasi menjadi tukang palak. “Ini cuman oknum”, begitu biasanya mereka berkelit. Jikalau sudah lebih dari separuh anggotanya berkelakuan demikian, apa masih bisa disebut oknum?

Tiba tiba, saya merasa tidak aman berada di negeri saya sendiri. Saya sedih.

Blue Lifestyle : Tuna Sirip Biru

Saya sedang diminta mengerjakan sebuah proyek tulisan dan magazine online oleh perusahaan. Ketika sedang mencari data untuk bahan tulisan, saya menemukan artikel tentang ikan Tuna Sirip Biru (bluefin tuna). Saya jadi tertarik untuk menuliskannya lagi, biarpun di internet sudah banyak tulisan tentang ini. Tulisan saya ini, tentunya, berdasarkan sudut pandang saya didukung oleh data dari beberapa sumber. Please CMIIW yaaa!

Ikan Tuna Sirip Biru (Thunnus thynnus) adalah spesies tuna yang paling banyak diinginkan, paling mahal dan paling sedikit tersedia di alam. Pasar tuna terbesar di dunia adalah Jepang, disusul oleh negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Harga Tuna Sirip Biru termahal adalah yang diimpor dari Spanyol, dihargai oleh pembeli Jepang sebesar 35 USD/Kg karena merupakan Tuna dengan kualitas premium.

Tuna Sirip Biru

Tuna Sirip Biru dan ketiga jenis tuna lainnya : Tuna Sirip Kuning, Tuna Albakor, Tuna Mata Besar, merupakan ikan pelagic atau ikan yang hidup di perairan atau lautan terbuka dan bukan di dasar ataupun zona yang dekat dengan daratan, mereka biasanya hidup bermigrasi. Daerah edar Tuna adalah di Samudera Pasifik dan Atlantik. Tuna juga membentuk schooling atau kumpulan dalam jumlah besar yang bergerak bersama saat bermigrasi. Schooling Tuna biasanya bergerombol dalam grup berdasarkan ukurannya. Tuna sirip biru terbesar di dunia ditemukan dan ditangkap dengan cara sport fishing pada tahun 1979 di Nova Scotia, Kanada oleh Ken Fraser dengan berat 1.496 lbs atau sekitar 678.57 Kg!

Ken Fraser dan Tuna Sirip Biru hasil tangkapannya



Sport fishing atau olahraga memancing ikan telah lama menggunakan Tuna sebagai sasaran mereka. Mengapa? Karena dianggap menarik dan membutuhkan teknik khusus. Tuna adalah ikan yang kuat dan memiliki kecepatan tinggi dalam bergerak mengarungi lautan. Kecepatan pergerakan Tuna terukur mencapai 60 mph atau sekitar 96,56 km/jam! Schooling Tuna seringkali membentuk pusaran yang rapat sehingga menyulitkan para pelaku sport fishing. Dibutuhkan kesabaran dan tenaga yang besar dalam menangkap Tuna, namun, justru yang membuat hal ini menjadi menarik karena melibatkan adrenalin yang cukup tinggi.

Kecepatan penangkapan Tuna saat ini sudah tidak sebanding dengan kecepatan perkembangbiakannya, baik oleh sport fishing, maupun oleh nelayan. Meskipun dalam sekali bertelur Tuna betina mampu mengeluarkan 30 juta telur, tapi yang mampu tetap bertahan untuk hidup mungkin hanya sepersepuluhnya saja. Kebanyakan Tuna di alam ditangkap sebelum waktu dewasa, karena permintaan pasar yang tinggi. Hal ini menyebabkan populasi Tuna menurun hingga  90% terhitung sejak tahun 1970an.

Tuna sirip biru dan tiga jenis tuna lainnya sudah termasuk dalam daftar merah dalam seafood guide yang dikeluarkan oleh WWF. Daftar merah berarti daftar spesies yang telah mengalami penurunan populasi yang serius di alam dan dalam proses penangkapannya mungkin terjadi tangkapan sampingan (by-catch) terhadap satwa yang dilindungi. Tuna juga digolongkan dalam spesies yang perkembangbiakannya lambat dan rentan terhadap overfishing atau tangkapan berlebihan.

Kemampuan Tuna untuk mulai bereproduksi ada pada tahun ke 3-5 saat panjang mereka mencapai 2 meter. Saat ini, banyak nelayan yang tidak mengindahkan hal itu. Mereka menangkap Tuna ukuran apapun sebelum ikan tersebut sempat bereproduksi, demi permintaan pasar. Hal ini sangat disayangkan, dan jika terus berlangsung, dalam 50 tahun kedepan kita akan “kehabisan” Tuna.

Upaya pelestarian Tuna sudah banyak dilakukan. Organisasi lingkungan hidup seperti Greenpeace dan WWF sangat berupaya keras dalam program ini. Kita tidak harus membuka peternakan Tuna untuk dianggap ikut berpartisipasi. Dengan peduli akan isu ini dan mulai membatasi konsumsi Tuna pun berarti sudah melakukan perubahan yang berarti. Inilah program blue lifestyle yang sesungguhnya, mengerti dan ikut serta dalam gerakan sekecil apapun untuk kelestarian dan konservasi dalam menjaga laut dan seisinya.

Tautan :
Wikipedia
Monterey Bay Aquarium
WWF
Big Marine Fish
Tuna Fishing Technique
Wikipedia Pelagic Zone
Seafood Guide by WWF

*Ditulis sebagai support untuk program kampanye WWF ” Choose Your Seafood Right”.
Tulisan saya tentang liputan kampanye tersebut dapat dilihat di sini

Waktu, Lebih Dari Sekedar Uang


Saya sempat tersentil oleh sebuah kalimat yg ditulis di aplikasi Fortune Cookies-nya Facebook. Katanya, ”Sahabatmu tidak membutuhkan uangmu, dia membutuhkan waktumu.
Pada saat saya mengakses aplikasi tersebut, sahabat saya, Uni, sedang hamil 9 bulan dan saya belum pernah lagi bertemu dengannya sejak kehamilannya berumur 6 bulan! Setiap saya ke Bandung diakhir minggu, saya selalu sibuk dengan aktivitas lain (saya berencana membuat sebuah bisnis bersama sahabat saya yang lain)Saya selalu pulang ke rumah hampir tengah malam dan pulang ke Jakarta keesokan sorenya. Saya selalu mengeluhkan tidak punya cukup waktu untuk bisa mengunjungi Uni yang –jujur tempat tinggalnya hanya berselang 3 rumah saja dari rumah saya! What a shame!
Sampai suatu hari, saya sangat merindukan sahabat saya itu. Saya harus punya kesempatan untuk bertemu dengannya, sesibuk apapun, dan tak boleh ada alasan apapun yg menghambat niat saya. Sampai suatu hari saya ditugaskan ke Bandung lebih dari satu hari, saya langsung merancang jadwal untuk mengunjunginya.
Saat itu, saya datang malam hari, pukul 21.00. Sungguh waktu yang tidak tepat bagi kami untuk berkunjung (saya mengajak Enthel). Tapi sebelumnya, saya memang sudah minta ijin untuk boleh datang malam hari, alhamdulillah disetujui. Ketika kami datang, Uni sedang menelepon. Anak pertamanya, Acel, datang menyambut kami. Hey, dia sudah lebih tinggi dan lebih kurus dari yang saya ingat dulu! Giginya Acel juga sudah tumbuh banyak. Ya ampun, ternyata saya melewatkan banyak hal dalam hidup ini. 
Setelah Uni menutup teleponnya, kami bertiga langsung terlibat dalam obrolan yang seru, seperti saat kami remaja dulu. Oh, rasanya saya enggan untuk pulang. Kami terus mengobrol sampai waktu menunjukan pukul 22.30 WIB,  saatnya saya dan Enthel pamit. Kami berjanji untuk bertemu lagi ketika Rani sudah melahirkan nanti.
Sesampainya di rumah, saya merenung. Apa yang saya cari? Sebegitu sibuknya kah saya sehingga tidak bisa meluangkan 90 menit saja untuk sekedar mengobrol dengan sahabat? Sebegitu arogannya kah saya sehingga terlihat seperti tidak membutuhkan sahabat? 

Waktu adalah hal yang sering kita sia siakan tanpa kita sadari. Saya adalah salah seorang yang termasuk diantaranya. Sayangnya, ketika kita tersadar kembali, segalanya telah berubah dan terlambat, akhirnya yang dapat kita lakukan hanya menyesal. 


*cerita tentang persahabatan kami ada di : TRD is Back!